
KARAWANG, bacaklik.co.id – Pasca terjadinya peristiwa di Stadion Kanjuruhan Malang, mendapat perhatian banyak pihak. Yang di mana, seharusnya tidak terjadi jika para penonton lebih mengedepankan sportifitas.
Sejatinya sebuah pertandingan bagaimanapun hasil akhirnya merupakan prestasi yang harus dihormati dan suatu kebanggaan bagi para penonton (suporter)
Terkait hal tersebut, Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afinta meminta maaf atas terjadinya tragedi di Stadion Kanjuruhan, dan Polda Jawa Timur bersama tim Mabes Polri akan melakukan upaya semaksimal mungkin untuk korban luka, mendapat bantuan perawatan.
Polri, khususnya Kapolda Jatim menegaskan akan melakukan proses penegakan hukum kepada siapa saja yang bersalah dalam peristiwa ini.
Hal ini mendapat dukungan salah satunya dari Studi Demokrasi Rakyat (SDR), menurut Direktur Eksekutif, Hari Purwanto pihaknya mendukung penuh Kapolda Jawa Timur, Irjen Pol Nico Afinta untuk segera mengambil langkah cepat, menginvestigasi dan mengusut tuntas tragedi tewasnya supporter Aremania itu.
Perlu diketahui bahwa musibah ini sebagai dampak atau akibat chaos dari kegaulaan serangan dan ancaman serangan terlebih dahulu yang dilakukan oleh penonton/suporter terhadap penegak hukum/pemain Persebaya/official.
Sementara itu Prof. DR. Indriyanto Seno Adji. SH, MA .Guru Besar Hukum Pidana/Pengajar PPS Bidang Sthdi Ilmu Hukum UI mengungkapkan duka tentang musibah Kematian sekitar 130 menjadi tragedi nasional dibidang olah raga, betapa tidak, karena musibah ini baru sekali terjadi pada olahraga Indonesia dan musibah kematian no 2 didunia pada olahraga sepakbola.
Dan terkait Mengapa Polri dituding bertanggungjawab atas musibah tersebut, dari sisi Hukum Pidana belum memberikan argumentasi yang utuh, jelas dan tegas antara makna “Excessive Force” dengan kondisi darurat chaos dilapangan penyelenggaraan sepak bola ini yg dikategorikan sebagai abnormaal tijden (kondisi darurat), bahkan kalau dikaitkan dengan suasana chaos.
Dengan kategori kondisi force majeur, sehingga penggunaan gas air mata yang dilakukan oleh Penegak Hukum Polri yang dianggap sebagai pemicu tragedi Kanjuruhan, bahkan penggunaan gas air mata dianggap melanggar aturan internal FIFA. dan ada polemik mengenai legitimasi dan levelitas antara regulasi FIFA dan Hukum Nasional mengenai dampak picuan penggunaan gas air mata, Kedua aturan ini, FIFA dan Hukum Nasional memiliki relasi dan integritas yg saling mengisi.
Namun haruslah dipahami bahwa “the sovereignty of national law is the supreme law”. Haruslah diakui bahwa Kedaulatan Hukum Nasional harus diapresiasi sebagai hukum tertinggi.
Bahkan Hukum secara universal mengakui bahwa dalam kondisi darurat chaos kebutuhan tindakan preventive force adalah lawful dan legitimatif untuk mencegah dampak yang lebih luas terhadap kondisi dan lingkungan yang membahayakan saat itu.
Dikatakan pada saat selesaianya sepak bola itu memang sangat kuat diduga melakukan aksinya secara anarkis dan telah menimbulkan chaos, baik limitatif maupun ekstensif masif, dan apalagi sudah melakukan perlawanan terhadap Polisi sebagai aparatur kekuasaan dibidang keamanan dan ketertiban umum.
Sehingga menghadapi hal tersebut Polisi mengambil tindakan, hal tersebut dikarenakan Polri memiliki kewenangan maupun diskresi untuk melakukan tindakan hukum dengan berbasis dan bernilai secara proporsionalitas dan subsidiaritas, yang dalam pemahaman implementatif adalah tindakan tegas dan terukur.***